Friday 21 August 2015

Kekerasan Emosional Itu Nyata!

“Kasihan, ya? Kok ya tega-teganya mereka melakukan kekerasan pada bocah sekecil itu?” Kira-kira kalimat seperti yang sering saya dengar dari orang-orang yang mengomentari tragedi Angeline. Tunggu dulu, apakah kategori kekerasan pada anak hanya sebatas perlakuan fisik? Bagaimana dengan tindakan lain yang berhubungan dengan emosional? Sudahkah kita menyadarinya?

Sumber: 24hourparenting.com

Sedari dulu saya yakin bahwa kekerasan terhadap anak tidaklah sebatas perilaku fisik saja tapi juga bisa melalui kata-kata. Mengapa? Karena kata-kata yang diucapkan oleh orang dewasa (siapapun itu, termasuk orang tua kandung) bisa saja melukai perasaan anak-anak. Saya, berkaca dari pengalaman pribadi dan beberapa teman yang pernah mendapat kekerasan emosional sewaktu kecil, merasa bahwa kekerasan emosional merupakan permasalahan anak yang paling sering terjadi di sekitar kita namun juga sering diabaikan karena faktor ketidaktahuan tentang betapa serius akibat yang mungkin terjadi pada si anak di masa depan.
  
Selama ini saya melihat orang-orang di sekitar saya banyak memikirkan tentang jodoh, pasangan hidup, biaya resepsi, KPR dan sumber dana untuk pendidikan formal anak mereka nanti. Namun hanya sebagian kecil yang memahami betul bahwa ada hal lain yang sama pentingnya dengan memperhatikan kebutuhan makan dan pendidikan anak yaitu kebutuhan emosional. Dan untuk memenuhi kebutuhan yang satu ini dibutuhkan kedewasaan mental orang tua. Menurut saya ada beberapa hal mengenai kekerasan dan kebutuhan emosional anak yang perlu diperhatikan guna mendukung pola asuh yang sehat dalam suatu keluarga:


Perhatikan Kata-kata yang Digunakan

Mengenai kekerasan fisik, semua orang pasti menyadari bahwa hal itu tidak boleh dilakukan terhadap anak dan orang yang melakukannya sudah pasti akan dipandang salah oleh orang lain. Tapi bagaimana jika anak kerap disebut “bodoh” oleh keluarganya sendiri? Belum banyak orang yang menyadari bahwa tindakan seperti itu juga tergolong sebagai kekerasan terhadap anak. Penggunaan kata-kata negatif semacam itu akan melukai anak secara emosional. Sangat sering kita mendengar orang dewasa menyebut anak kecil sebagai anak yang nakal jika mereka berteriak-teriak. Menurut saya, setelah menonton beberapa acara talkshow tentang anak di televisi, banyak anak kecil yang belum mengerti apa itu “nakal”. Apa yang mereka lakukan (dan kita artikan sebagai “nakal”) mungkin adalah cara mereka mengekspresikan perasaannya, karena mereka belum sepintar orang dewasa dalam mengenali emosinya sendiri. Namun karena sering mendengar kata “nakal”, mereka justru seperti sedang didoktrin bahwa mereka nakal, sehingga mereka terus melakukan hal yang nakal dan akhirnya mereka benar-benar menjadi nakal.

Kata lain yang sering digunakan oleh orang dewasa terhadap anak kecil yaitu “Dasar bodoh!” Padahal si anak belum tentu benar-benar bodoh. Bisa saja saat kejadian itu mereka baru belajar dan belum mahir atau mereka sedang merasa kesal terhadap sesuatu sehingga tidak bisa menyelesaikan tugasnya sebagaimana mestinya. Namun karena mereka sering mendapat penilaian sebagai anak yang bodoh, lambat laun mereka benar-benar percaya bahwa mereka bodoh. Mereka pun kemudian enggan berusaha karena sudah terlanjur percaya bahwa “Apapun yang saya lakukan akan berakhir sia-sia, karena saya bodoh. Saya tidak bisa apa-apa.” Apakah ada salah satu dari kita yang dulu berpikiran seperti itu? Tidak apa-apa jika pernah mengalaminya, saya juga kok.


Hati-hati Ketika Menunjukkan Amarah

Selain kata-kata negatif seperti itu, tentu merupakan hal terlarang bagi kita untuk mengumpat/memaki di depan anak-anak. Saya memaklumi bahwa marah adalah hal yang manusiawi dan wajar jika kita tampak marah, tapi berhati-hatilah dalam mengekspresikan kemarahan itu.

Contoh yang sering terjadi seperti ini: kedua orang tua sedang membicarakan sesuatu kemudian mereka berbeda pendapat. Lantas karena perbedaan pendapat tersebut amarah masing-masing terpancing sehingga pada akhirnya meninggikan nada suara dan memaki satu sama lain. Anak kecil yang melihat atau mendengarnya (yang pada umumnya belum mengerti inti pembicaraan kedua orang tuanya) dapat mengenali emosi yang tidak menyenangkan ketika mendengar teriakan-teriakan itu. Respon anak yang pertama biasanya merasa takut, kemudian menangis.

Efek yang lebih jauh yang dapat terjadi pada anak (yang saya amati) adalah mereka mungkin:
  1. jadi anti konflik (padahal tidak semua konflik buruk, jika ditangani dengan baik konflik bisa dimanfaatkan sebagai sesuatu yang berguna dalam hubungan/kerjasama)
  2. mengalami masalah komunikasi (karena takut terjadi konflik, anak lebih sering memendam perasaan dan tidak mengutarakan pendapat)
  3. jadi tertekan (berhubungan dengan adanya masalah komunikasi tadi)
  4. mempunyai pandangan yang salah mengenai hubungan pernikahan (karena orang tua sering menunjukkan percekcokan di depan anak, anak jadi menganggap bahwa pernikahan adalah hal yang buruk untuk mereka, padahal baik-buruknya pernikahan tergantung pada masing-masing individu yang menjalani)
  5. kecewa dengan orang tuanya kemudian menemukan kenyamanan dalam komunitas yang salah (komunitas yang suka minum-minuman keras/suka membolos sekolah/suka tawuran, semata-mata karena merasa komunitas itulah yang dapat memahami kekecewaan mereka)
  6. melakukan hal yang sama pada pasangannya kelak (misalnya membentak/mencaci maki dengan mudahnya)

Contoh lain: ketika merasa marah, orang tua suka melempar/membanting barang di depan anak. Anak kecil yang sering melihat adegan itu akan meniru dengan sendirinya. Di masa mendatang, akan sangat mungkin mereka juga mengekspresikan kemarahan mereka dengan cara yang sama. Bukankah anak adalah peniru yang handal? Seringkali anak-anak tidak mengikuti apa yang kita katakan tapi apa yang kita lakukan.

Saya menemukan cerita “Angel: Seperti yang Ayah dan Ibu Lakukan ke Aku” tentang bagaimana seorang perempuan yang kelak ingin mengasuh anaknya dengan baik, karena dia merasa telah diberi contoh yang baik oleh kedua orang tuanya. Pada salah satu bagian artikel, dia mengatakan bahwa “Aku mau mengajarkan dan memperlakukan anak-anakku nanti seperti apa yang ayah ibu ajarkan dan lakukan ke aku.” See? Betapa contoh yang diberikan orang tua sangat berpengaruh terhadap pola pikir anaknya di kemudian hari. Oleh karena itu saya sangat mendukung para orang tua untuk tidak menunjukkan percekcokan orang dewasa di hadapan anak.


Sampaikan Permintaan Maaf

Bertahun-tahun lalu, saya pernah mengikuti semacam workshop tentang pendidikan terhadap anak, karena waktu itu saya terlibat dalam suatu kegiatan dalam suatu komunitas. Dalam kesempatan itu narasumber menyampaikan bahwa anak-anak juga manusia, mereka layak dihormati. Meski anak-anak usianya terpaut jauh di bawah kita dan mereka belum mengetahui dunia luar sebanyak yang kita tahu, namun mereka juga punya akal, emosi dan pendapat mereka sendiri terhadap sesuatu. Mereka juga ingin pendapat mereka didengarkan, mereka ingin perasaan mereka juga dihargai. Satu hal yang saya amati pada orang dewasa tentang hal penting yang paling sulit mereka lakukan pada anak kecil adalah mengucapkan kata “maaf”.

Terkadang ketika kita merasa sakit hati terhadap seseorang, yang kita perlukan hanyalah kata maaf. Kita hanya membutuhkan kata maaf supaya beban yang kita punya dapat terangkat dan kita merasa lega. Kita hanya ingin orang itu menyadari bahwa tindakan mereka melukai perasaan kita, dan itu bisa tersampaikan dengan permintaan maaf. Nah, anak-anak juga demikian. Apakah ada dari kita yang masih ingat dulu jika ada teman yang membuat kita kesal tapi kemudian meminta maaf lantas kita maafkan dan berteman lagi? Masih ingat kenapa hubungan pertemanan itu dapat terjalin lagi? Karena kita menganggap bahwa dia sudah menyadari kesalahannya dan menyesali perbuatannya, dan itu sudah cukup bagi kita. Permintaan maaf lah yang sering terlupakan oleh orang dewasa. Hanya karena kita lebih dewasa dari anak kecil, bukan berarti kita tidak bisa salah terhadap mereka.

Saya ingat dulu saya pernah marah-marah pada adik saya yang masih kelas 1 SMP, dengan menyampaikan kata-kata yang menuduhnya telah menghabiskan kuota internet saya padahal baru kemarin lusa saya beli. Saya benar-benar kesal padanya waktu itu dan menganggap dia bersalah, meski dia sudah berkali-kali mengatakan bahwa dia tidak menggunakan kuota internet saya. Beberapa jam kemudian saya sadar bahwa saya salah, saya baru ingat bahwa sehari sebelumnya saya membuka suatu video di internet, jadi wajar jika hari itu kuotanya sudah menipis. Ketika menyadari kesalahan saya, saya terdorong untuk meminta maaf padanya. Tapi itu bukan hal yang mudah untuk saya lakukan, karena saya belum pernah meminta maaf padanya sebelumnya. Pada akhirnya saya memutuskan untuk meminta maaf…tapi dengan bantuan martabak telur. Ya, sembari memberinya martabak telur saya pun menyampaikan permintaan maaf saya. Malu? Tentu saja saya merasa malu. Tapi saya lega karena telah berhasil memberi satu contoh bahwa ketika kita melakukan kesalahan kita harus meminta maaf.

Saya rasa pengetahuan tentang kekerasan emosial terhadap anak dan pentingnya pola asuh anak (parenting) sangat penting untuk disebarluaskan. Hal itu bisa dilakukan melalui:
  1. diri kita sendiri (dengan menyampaikan pada orang lain)
  2. usaha pemerintah untuk mengajak masyarakat luas memahami hal ini (bisa dilakukan dengan cara penyuluhan oleh staf Puskesmas pada ibu-ibu saat kegiatan Posyandu).

Sebuah tulisan lama yang saya temukan di portal beritasatu.com setidaknya menunjukkan bahwa pemerintah juga mempunyai keinginan yang sama untuk mewujudkan tumbuh kembang anak yang sehat secara emosional. Hanya saja mungkin dalam perkembangannya, isu ini belum ditindaklanjuti secara khusus dan merata dalam masyarakat.

Semoga di masa mendatang lebih banyak orang yang sadar akan kekerasan dan kebutuhan emosional anak, sehingga anak-anak Indonesia dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang kondusif. Bagi orang-orang yang sudah 'terlanjur' terpengaruh oleh kekerasan emosional yang pernah diterima, ayo bersama-sama merangkul orang lain untuk mau aware terhadap isu ini.
 

No comments:

Post a Comment