Sunday 24 May 2015

Ibu, Sumber Pendidikan

Siapa yang pertama kali mengajarimu membaca atau berhitung?

Sumber: link
Kalau aku…tak ingat. Sungguh. Hehe. Tapi yang masih kuingat, sewaktu SD ibuku lah yang dengan rajin mengajariku berhitung, tentang perkalian dan pembagian, juga tentang soal cerita.

Aku melihat pada banyak keluarga, bahwa orang yang dengan seriusnya melihat nilai-nilai di raport anaknya, yang khawatir sekali jika anaknya tak bisa mengerjakan soal ujian, adalah ibu. Aku serius. Aku melihat hal seperti itu tidak hanya pada 1 keluarga, tapi banyak keluarga di sekitarku. Ibu memang sumber utama pendidikan anaknya.
   
Aku tidak bermaksud mengecilkan peran ayah dalam keluarga, tapi dalam hal pendidikan anak-anak usia dini, ibu lah yang maju duluan.

Tentu saja. Saat masih balita sampai usia SD, sebagian besar dari kita menghabiskan waktu lebih banyak dengan ibu. Ibu lah yang mengajarkan kita untuk selalu berkata sopan dan jujur, memberi petunjuk tentang hal yang boleh dan yang tidak boleh kita lakukan. Dan yang paling terasa, ibu lah yang selalu mengingatkan kita untuk belajar.

Ada beberapa ibu yang punya waktu lebih untuk mengajak dan mengajari anaknya belajar di rumah. Ada pula beberapa ibu pekerja yang punya kepedulian tinggi terhadap pendidikan anaknya (dalam hal ini pendidikan formal, sekolah) namun tak punya waktu cukup untuk menemani anaknya belajar setiap hari. Oleh karena itu mereka menyerahkan “waktu pelajaran tambahan” anaknya pada guru les bimbel. Dua-duanya tak ada yang lebih baik ataupun buruk, keduanya sama-sama menunjukkan bagaimana atensi si ibu terhadap asupan pendidikan anaknya.

Aku pernah mengajar (privat) seorang anak perempuan, anak SD, yang mana pekerjaan orangtuanya adalah pembantu (maaf aku sama sekali tak ada niat jelek apapun dengan menyebutkan status pekerjaannya, justru aku ingin menggunakannya sebagai contoh yang memotivasi orang lain). Ibunya, sudah bekerja pada keluarga itu sejak masih single. Ketika hendak menikah dan berniat untuk mengundurkan diri, si empunya rumah melarangnya untuk berhenti bekerja. Mereka mengijinkan si ibu dan suaminya tinggal dan bekerja di rumah itu.

Anak perempuannya yang masih SD itu ternyata pandai. Apa yang kuajarkan bisa dengan cepat dia mengerti, kemampuan logika matematikanya juga bagus. Kadang-kadang aku memberinya buku bacaan seperti B*BO (yang disukai kebanyakan anak-anak) atau buku cerita bilingual (untuk belajar kosakata Bahasa Inggris yang baru). Untuk tarif mengajar, tentu aku menggunakan standar biasa di Jogja, bukan standar kota-kota besar yang sekali pertemuan bisa menembus angka Rp50.000. Jadi masih terjangkau lah untuk dibayar ibunya. Karena bagiku, bisnis tetap bisnis. Jika setelah kesepakatan pembayaran itu aku memberikan sesuatu yang lain, maka itu adalah plus service dariku.

Inti dari kejadian di atas, terlihat jelas bahwa si ibu sangat memperhatikan pendidikan anaknya. Meski status pekerjaannya seperti itu, tapi dia tak ragu-ragu untuk mencari guru privat bagi anaknya. Dia ingin yang terbaik untuk masa depan anaknya kelak.

Contoh kedua, ada seorang ibu yang sangat supel yang memanggilku untuk jadi guru privat matematika anaknya yang sebentar lagi naik kelas 6 SD. Jadi begini kondisinya, anaknya mengalami perubahan pola belajar yang cukup signifikan belakangan ini, sehingga si ibu merasa memerlukan bantuan orang lain untuk mengajar anaknya, karena jika si ibu yang mengajak belajar pasti lebih banyak guyon daripada belajar.

Kekhawatiran yang muncul adalah, kurikulum yang digunakan sekolahnya adalah Kurikulum 2013. Menurutku kurikulum itu bagus ya, karena isinya memberikan gambaran nyata tentang aplikasi ilmu yang dipelajari di sekolah, dan biasanya tipe soal matematikanya lebih susah dari Kurikulum 2006 (karena pengembangan masalah lebih mendalam). Jadi menurutku, jika si anak bisa mengerjakan soal matematika dari Kurikulum 2013, seharusnya tak ada masalah berarti ketika menghadapi soal UN Matematika.

Tapi si ibu tidak merasa demikian.

Ibu itu cukup ketat memantau perkembangan belajar anaknya. Setelah selesai les, pasti beliau akan menanyakannya padaku; apa yang dipelajari, apa yang tidak bisa dikerjakan…

Contoh ketiga, hubungan antara seorang kakak perempuan yang sudah menjadi ibu dengan adik bungsunya yang masih SMP. Kakak ini mempunyai 2 anak kembar usia TK dan seorang bayi. Adik bungsunya tinggal bersamanya karena kedua orang tua mereka telah meninggal. Maka dia dan suaminya lah yang mengurusnya, mulai dari kebutuhan sehari-hari hingga pendidikan.

Si kakak yang sangat memperhatikan pendidikan kedua anak kembar dan adiknya itu melihat bahwa pemahaman matematika adiknya masih sangat kurang, karena itulah aku diminta jadi guru lesnya. Dia khawatir adiknya nanti tak mampu bersaing untuk masuk perguruan tinggi. Si kakak mengerti betul bahwa adiknya sangat kewalahan jika harus menghadapi soal cerita. Nah, orang yang mengerti kekuranganmu pada hal-hal yang detil seperti itu pasti orang yang menaruh perhatian besar padamu kan? Makanya aku yakin kakak itu juga sangat memperhatikan pendidikan adiknya.

Ada hal lain yang kuperhatikan dari banyak anak-anak itu, yaitu betapa kebiasaan rutin belajar yang ditanamkan oleh orang tua (terutama ibu, yang biasanya lebih banyak berinteraksi dengan anaknya) sejak anaknya masih kecil akan membentuk suatu ‘jalan’ logika di dalam kepalanya. Hal ini bermanfaat ketika dewasa, dia akan mudah menalar suatu keadaan (dan soal dalam pelajaran). Sehingga saat dia dihadapkan pada suatu keadaan, dia bisa mencari pemecahan masalahnya secara kreatif.

Ya...itu menurut pendapatku.
  
Aku tentu tak dapat menyangkal bahwa faktor IQ lah yang biasanya menentukan kecerdasan seseorang, tapi ada hal lain yang bisa mengimbangi faktor itu, yaitu kebiasaan belajar. Anak yang sejak kecil rutin diajari berhitung, biasanya ketika dewasa mempunyai kemampuan nalar di atas rata-rata (di atas rata-ratanya itu maksudku bisa sedikit atau banyak, tergantung kemampuan si anak juga).

Jadi aku sangat mendukung para orang tua, terutama ibu, untuk mengajak dan menemani anak-anaknya rutin belajar. Yang perlu diperhatikan di sini adalah sesuaikan porsi belajar dengan usia anak. Anak usia TK ke bawah tentu harus banyak bermain - sedikit belajar (karena memang masanya seperti itu), belajar pun harus dikemas dalam bentuk permainan supaya dia tidak bosan. Sedangkan untuk anak SD, porsi bermain dan belajarnya bisa 50:50, mereka pun sudah bisa diajak lebih serius dari sebelumnya. Nah, untuk usia SMP, akan lebih menyenangkan jika pelajaran sains (Matematika dan IPA) disertai dengan alat peraga atau studi kasus dalam kehidupan nyata, supaya mereka lebih mengerti manfaat dari ilmu yang (semakin sulit) mereka pelajari.

“Guru (entah itu orang yang berprofesi sebagai guru, orang tua, dan orang-orang yang mengajar orang lain) yang baik adalah guru yang mampu membangkitkan semangat anak didiknya untuk mau maju,” kataku.

Sumber opini: Hasil pengamatan terhadap murid-murid dan kedua adikku, rangkuman dari hasil beberapa diskusi antara aku dengan orang tua murid, serta pendapat ibuku sendiri.


No comments:

Post a Comment