Sunday 12 June 2016

[Review] Seribu Kerinduan


Judul: Seribu Kerinduan
Penulis: Herlina P. Dewi
Penerbit: Stiletto Book
Tebal buku: 241 hlm
Terbit: November 2013

Renata, seorang fashion editor dengan karier cemerlang di kantornya, harus pasrah pada keadaan. Setelah berpisah dengan Panji, lelaki yang sudah dipacari selama empat tahun karena perjodohan biadab itu, dia pergi ke semua tempat yang pernah mereka singgahi untuk menelusuri jejak-jejak kebersamaan. Hidup menjadi sangat membosankan baginya, karena hari-harinya kini hanya dihabiskan untuk mengenang Panji. Dia pun lantas memilih menjadi pelacur, karena dengan profesi barunya itu, dia kembali merasa dicintai, dihargai, dibutuhkan dan disanjung.
  
Namun, ia sadar, menjadi pelacur hanyalah sebuah persinggahan sebelum dia benar-benar melanjutkan hidup sesuai dengan keinginannya. Lantas, kehidupan seperti apa yang sebenarnya ingin dijalaninya? Tanpa Panji? Bisakah?

  
***
 
Novel ini sukses membuatku geregetan sekaligus baper (terbawa perasaan) banget, sumpah. Geregetan karena tokoh utama pria (Panji) yang membuatku berpikir laki-kok-gitu-sih atau itu-laki-apa-bocah atau ogah-deket-deket-sama-cowok-kayak-dia (hahaha, udah kayak penonton Uttaran aja kan aku, terbawa emosi sampai segitunya); baper karena tokoh utama wanita (Renata) yang sempat terkesan miserable. Oh, cerita menuju ending juga membuatku baper sebenarnya; tentang bagaimana Panji berusaha untuk *pip* (eh tak boleh ada spoiler di sini, hahaha). Di satu sisi aku tidak menyukai sensasi yang timbul setelah membacanya, tapi di sisi lain aku rasa novel ini oke juga karena mampu membuat pembaca terhanyut ke dalam cerita.
  
“…You never really stop loving someone. You just learn to live without him.” - hlm 49

Ini berlaku untuk mereka yang “dipaksa” berhenti menyayangi seseorang.
 
  
I know when to stop. I know when to let things go. But, I can’t.” - hlm 49
 
Dan yang ini berlaku untuk mereka yang gagal move on (mbrebes mili).
  
   
Cinta merupakan kekuatan yang tak akan pernah bisa ditundukkan. Kalau kita berusaha mengendalikannya, cinta akan menghancurkan kita. Kalau kita berusaha mengurungnya, cinta akan memperbudak kita. Dan jika kita belajar untuk memahaminya, cinta akan meninggalkan kita dalam kebingungan. - hlm 131
  
Bingung ya, sama maksud kalimat di atas? Sama.
  
  
“Ren, sometimes, we need to stop blaming the past and start creating the future. Kalau kita terus-terusan menyalahkan masa lalu, kita justru akan terus hidup bersamanya, dan semakin sulit membebaskan diri.” - hlm 175
  
Nah! Yang ini tidak hanya berlaku untuk mereka yang sulit lepas dari rasa sakit hati akibat hubungan percintaan, namun untuk semua rasa sakit hati akibat APAPUN. Kadang kita masih merasakan sakit hati karena diri kita sendiri yang sulit untuk fokus ke depan, kita masih sulit memaafkan/menerima apa yang telah terjadi di masa lampau. Memang, apa yang ada di belakang itu menyakitkan. Pertanyaannya, kita mau membangun masa depan atau tidak? Kalau mau, ya paksa diri sendiri untuk fokus ke depan, jangan terus-terusan mengikatkan diri pada masa lalu.
  
  
“Kenangan itu candu.” - hlm 201
  
Beberapa kenangan. YES.
  
   
Jujur, di mataku novel ini terasa a little bit dark. Entahlah, mungkin karena apa yang dialami oleh Renata adalah sesuatu yang jauh dari kehidupanku, jadi aku menilainya demikian. Namun penulisnya (mbak Herlina P. Dewi) bercerita dengan gaya dewasa, jadi novel ini tetap terasa realistis sekaligus terasa emosinya yang ingin ditunjukkan pada pembaca. Contohnya sesaat setelah Renata berpisah dengan Panji, dia diceritakan mengalami kekacauan (hilang arah, tidak fokus pada hidupnya) tapi kondisinya digambarkan dengan cara yang realistis, dengan cara selayaknya wanita usia 28 tahun (yang berpendidikan dan telah berkarir) mengalami “kekacauan pikiran”, bukan dengan gambaran yang dramatis ala telenovela. Jadi seiring berjalannya cerita aku jadi bisa merasakan betapa ngenes nasibnya Renata sambil berpikir bahwa, “Oh iya ya, hal seperti ini bisa saja terjadi di kehidupan nyata.”
 
Kejujuran lain dariku, ada dua hal dalam novel yang sangat mengganggu pikiranku, membuatku bertanya-tanya. Yang pertama, ada di akhir halaman 49. Bagaimana bisa seseorang di satu sisi melangsungkan pernikahan, tapi di sisi lain berjanji pada orang lain untuk tetap setia mencintai dan menjaga perasaannya? Itu semacam “omongan tak sejalan dengan kelakuan”, sama sekali tidak sinkron. Memangnya dia pikir keuntungan macam apa yang akan diterima oleh orang yang dijanjikannya? Tak ada.
 
Tunggu dulu. Apa di kehidupan nyata benar-benar ada orang seperti itu? Yang membungkus omong kosong dengan janji-janji manis? Oh, iya, ada.
 
Kedua, aku lupa ada di halaman berapa, ada kalimat seperti ini yang diucapkan oleh Panji: “Bahkan aku nggak yakin, aku bisa hidup tanpamu.” What a bullshit. Kalau memang benar begitu, kenapa dia masih tetap hidup setelah pisah dari Renata dan menikah dengan perempuan lain? Aaargghhh…kayaknya si Panji itu sebenarnya edan, atau punya kepribadian ganda.
  
Oke, aku lebay, abaikan saja. Penilaianku itu terlalu subjektif. Mungkin karena dulu aku kebanyakan nonton sinetron, alhasil jadi emosian gini. LOL. 
   
Kejujuran terakhir, aku lebih suka pada tokoh Dion...Fine, abaikan juga yang ini.
  
Jadi, menurut penilaianku novel Seribu Kerinduan ini cocok untuk yang sedang mencari kisah kasih realistis namun tidak cocok untuk ABG yang lagi keranjingan cinta monyet. Serius. Kamu mungkin bisa mengerti jalan ceritanya, bisa mengerti kata-kata tertentu yang dirangkai dengan sedemikian puitis dan indahnya, namun belum tentu bisa memaknainya.
  
Tertarik dengan novel ini tapi sulit mendapatkannya di toko buku? Coba hubungi penerbitnya saja: StilettoBook.com.
   
 

No comments:

Post a Comment