Tuesday 1 September 2015

Mengelola Keuangan dengan Bijak

Membicarakan uang memang tak pernah ada habisnya. Selalu ada saja hal menarik yang dapat diperbincangkan tentang uang, entah itu tentang cara mengumpulkan atau menghabiskannya. Sayangnya uang tidak tumbuh dari tanah dan semakin lama nilainya menurun akibat inflasi. Tak jarang kita harus memeras otak dan keringat untuk tetap mendapatkan penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (dan juga gaya hidup).

Sumber: link

Dulu saya berpendapat bahwa untuk bisa hidup berkecukupan hanya diperlukan kerja dan menabung. Setelah beranjak makin dewasa, saya menyadari bahwa ada hal lain yang harus diutamakan dari kedua hal tadi, yaitu cara mengelola keuangan pribadi. Setelah lebih dewasa, saya baru menyadari bahwa pendapatan yang besar tidak menjamin seseorang hidup berkecukupan apalagi berkelebihan. Poin penting untuk mendapatkan hidup yang berkecukupan bukan seberapa besar pendapatan, tapi bagaimana pengelolaannya.
 
Banyak orang (termasuk saya) cenderung menaikkan gaya hidup ketika mendapatkan uang yang lebih banyak. Jika demikian kebiasaan kita, apalah arti pendapatan Rp5.000.000 dibanding Rp2.000.000 jika uang yang tersisa di akhir bulan sama-sama Rp500.000. Memang gaya hidup kedua orang yang mempunyai gaji tersebut berbeda, tapi kita juga perlu memikirkan dana masa depan juga kan? Masa iya mau terus-terusan tak punya dana cadangan/simpanan?
 
Safir Senduk, seorang perencana keuangan, dalam Makalah Jumpa Blogger Sun Life menyampaikan bahwa ada tiga macam cashflow:
  1. Miliki investasi sebanyak mungkin
  2. Siapkan dana untuk masa depan
  3. Atur pengeluaran
Bagi saya pribadi, keuangan saya saat ini sebagian besar ada di porsi “atur pengeluaran”, sedikit di “siapkan dana untuk masa depan” dan sama sekali belum sampai di “miliki investasi sebanyak mungkin”. Tapi kali ini saya akan berusaha untuk menuliskan poin penting dalam mengatur keuangan pribadi:


Mengatur Pengeluaran

Mengatur pengeluaran adalah kemampuan dasar dari pengelolaan keuangan. Kita mungkin tak bisa ‘mengatur’ pendapatan, tapi bisa mengatur seberapa banyak uang yang kita gunakan. Pernah mendengar ungkapan bahwa “orang yang paling sulit untuk dikalahkan adalah diri kita sendiri”? Ungkapan itu akan terbukti jelas ketika kita dihadapkan pada keinginan dan kebutuhan. Keinginan kita berpendapat bahwa kita perlu membeli baju, sepatu dan tas baru, sesegera mungkin. Tapi kebutuhan kita mengatakan bahwa saat ini yang lebih penting adalah berhemat supaya kita mempunyai dana cadangan yang bisa digunakan untuk keperluan mendesak (misalnya untuk pengobatan atau perbaikan kendaraan). Saat seperti itulah kita memerlukan kesadaran serta pengendalian diri supaya tidak terjerumus dalam godaan shopping sale.
 
Saya terkadang juga tergoda oleh barang-barang bagus yang saya lihat di toko, tapi berhubung budget saya terbatas, saya sering menerapkan cara ini:
Misalnya saya menyukai sebuah baju yang dijual di sebuah department store. Saya sangat tertarik dengan baju itu tapi saya sadar bahwa sebenarnya saya tidak membutuhkannya (atau barang itu tidak ada dalam daftar belanjaan). Jika timbul keraguan ketika hendak memutuskan untuk membelinya, saya akan meninggalkan tempat itu sementara waktu dan melihat-lihat ke toko lain. Jika setelah beberapa saat saya masih tertarik dengan baju yang tadi (atau malah semakin merasa tertarik), saya akan kembali untuk membelinya. Tapi jika ketertarikan saya semakin memudar, sudah pasti saya tidak akan kembali. Sering, yang terjadi adalah kejadian kedua. Cara ini cukup ampuh untuk ‘menyelamatkan’ saya dari perilaku menghamburkan uang untuk barang yang sebenarnya tidak saya butuhkan.
 
Selain itu, terkadang dengan jumlah uang yang ada kita tak bisa memenuhi semua kebutuhan kita sekaligus. Mungkin kenyataan ini tidak bisa berubah, tapi kita masih bisa menyiasatinya dengan mengutamakan kebutuhan-kebutuhan yang paling utama dari yang terutama (jika dalam kualitas ada best of the best, maka dalam hal ini prinsip yang digunakan adalah first thing first). Lantas apakah kebutuhan penting lain harus dihilangkan? Tidak, bukan dihilangkan, tapi ditunda. Kita bisa menunda kebutuhan itu terpenuhi sampai bulan depan, misalnya.


Persiapkan Dana Masa Depan

Biasanya anak kecil sering diajari untuk menabung, Anda juga kan dulu? Sebenarnya itu adalah langkah awal untuk mempelajari cara menyiapkan dana masa depan. Pertanyaannya sekarang, apakah kita yang sudah dewasa ini masih menganggap menabung sebagai hal yang penting? Meskipun saat ini kita sudah dewasa dan tidak lagi menggunakan celengan untuk menyimpan uang tabungan, namun menabung tetap merupakan hal yang penting. Bagaimana pun kita harus melihat jauh ke depan, dan untuk menghadapi hari esok keberadaan tabungan pasti akan sangat membantu.
 
Dana masa depan tak hanya berupa uang tabungan, tapi bisa berupa barang investasi seperti emas/perhiasan. Untuk jangka waktu hingga 5 tahun, menabung dalam bentuk uang mungkin tidak begitu terasa penurunan nilai mata uangnya. Tapi akan terasa jelas bedanya jika dimaksudkan untuk disimpan/dialokasikan sebagai dana pendidikan anak 15 tahun yang akan datang. Uang Rp20.000.000 pada masa 15 tahun yang akan datang mungkin akan setara dengan nilai uang Rp 15.000.000 pada saat ini. Tapi jika uang Rp20.000.000 tadi diubah menjadi emas, maka jika diuangkan 15 tahun lagi nilainya tidak akan turun. Pada beberapa orang, menyimpan dana masa depan dilakukan dengan cara mengkonversi rupiah mereka menjadi mata uang lain atau membeli banyak aset berharga (seperti tanah atau rumah).
 
Dana masa depan yang tak kalah penting untuk dipikirkan adalah dana pensiun. Bagi PNS mungkin isu ini tidak begitu gawat, tapi bagi karyawan swasta ini isu penting. Selama manusia masih hidup, manusia akan tetap membutuhkan uang untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup. Dan inilah yang perlu kita pikirkan masak-masak jika kita bukan PNS: setelah masa pensiun itu tiba, setelah masa produktif kita telah lewat, bagaimana caranya kita tetap menyambung hidup? Mengandalkan anak-anak? Well, kita tidak tahu seperti apa keadaan keluarga kita di masa mendatang. Jadi hanya mengandalkan anak untuk menafkahi kita yang sudah tidak bisa mencari uang sendiri, saya rasa bukan opsi utama. Opsi yang utama itu adalah mempersiapkan dana pensiun.
 
The last, isi tulisan saya ini bukan rangkuman bukunya Pak Safir Senduk ya... Saya ingat bahwa dulu saya pernah membaca karyanya yang berjudul “Siapa Bilang Jadi Karyawan Nggak Bisa Kaya?”, tapi karena saat itu saya masih terbilang remaja jadi kurang mengerti dan hanya membaca sekilas. Sekarang setelah teringat pada buku itu, saya rasa saya harus membaca ulang buku itu dengan lebih seksama.

Menurut saya, seketat apapun kita dalam mengatur pengeluaran, kita tetap harus ingat untuk bersedekah (sesuai dengan kemampuan kita, tentunya). Karena sering kali dalam bersedekah/berbagi dengan orang lain, kita menemukan rasa berkecukupan.
 

No comments:

Post a Comment